halaman 1
BAB I. BIOGRAFI SINGKAT
MAMA FAQIH
(Pendiri Pontren
Miftahulhuda Al-Musri’)
1.
Tentang Kelahiran
Kelahiran Mama KH. Ahmad Faqih berawal dari cerita yang sangat
unik, di mana sewaktu ayah beliau H. Kurdi Bin H. Musa menuntut ilmu di
Pesantren Gudang (salah satu pesantren terbesar di daerah Tasikmalaya) sekitar
tahun 1907 M. Tak berselang lama H. Kurdi mondok di sana. Pada suatu hari H.
Kurdi bin H. Musa1 dipanggil oleh gurunya, dan disuruh pulang2,
padahal pada masa itu beliau merasa belum bisa apa-apa.
Tak berselang lama ketika beliau berada di Kampungnya, Beliaupun menikah dengan salah seorang gadis pilihannya3, dan dari pernikahan inilah Beliau dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Rukmini. Karena beliau teringat perkataan gurunya , bahwasannya Beliau akan dikaruniai anak laki-laki yang sholeh, maka beliaupun menceraikan istrinya4. Dan H. Kurdi pun menikah lagi dengan seorang janda beranak dua yang bernama Hj. Halimah, anak dari Hj. Halimah yaitu Hj. Juariyah dan Bapak Enjum.5
Setelah sekian lama H. Kurdi menanti disertai dengan do’a yang terus menerus, maka terkabulah permohonan Beliau dan Beliau dikarunia anak laki-laki yaitu Syaikhuna Almukarrom Mama KH. Ahmad Faqih yang lahir pada bulan Januari 1913 M. / Shafar 1331 H. di Kp. Cilenga Ds. Leuwisari Kec. Leuwisari Kab. Tasikmalaya. Kemudian lahir pula dua anak laki-laki bernama Kyai Jamaludin dan Kyai Ahmad Romli, mereka bertiga beda selang usia satu tahun.
Mama H. Kurdi
wafat setelah Indonesia merdeka sekitar tahun 1949 6, makamnya berada di Kp. Kubangsari Desa Arjasari kec. Leuwisari Kab. Tasikmalaya ( 2 km
sebelum Cilenga dari arah Singaparna )
2.
MASA KECIL
==============================================
==============================================
1dari asal naskah tertulis H. Kurdi bin Artibah. Kemudian ada
perubahan, karena mungkin Artibah tersebut maksud lain dari IBAH. IBAH ini adalah
kakak (tertua) nya H. Kurdi.
2 Dalam percakapannya dengan Mama KH. Suja'i (Mama Gudang), beliau
mengatakan bahwa beliau merasa belum bisa mengaji, oleh karenanya beliau masih
ingin bertholabul ilmi serta terus berkhidmat pada gurunya tersebut (menurut
riwayat yang tsiqoh : Mama Kurdi merupakan Khodam/Laden mama Gudang). Dalam
merespon curhat santrinya Mama Gudang mengatakan bahwa beliau (Mama Kurdi;red)
memang tidak akan bisa mengaji – selevel Kyai di Zamannya-. Tapi nanti dari
garis turunannaya akan ada yang menjadi seorang Ulama, oleh karenanya beliau
disuruh pulang saja untuk berkeluarga dan bermasyarakat.
Sikap
dari Mama Kurdi yang ingin terus berkhidmat sangatlah wajar, sebagaimana
dikatakan dalam Syarah kitab Ta'lim al-Muta'allim hal
37 : Bagi yang ingin putranya alim, hendaklah memperhatikan para pengembara
dari golongan ahli Fiqih, dengan memuliakan, mengagungkan dan memberikan
sesuatu kepada mereka, maksudnya bershodaqoh kepada mereka – dan diantara
bentuk shodaqoh itu dengan tenaga – walaupun itu sedikit. Kalaupun anak-anak
mereka tidak menjadi seseorang yang ahli ilmu, setidaknya cucu mereka yang
kelak akan menjadi orang alim. Maka jelaslah dalam uraian ini, bahwasannya
akibat mengagungkan dan memuliakan ulama merupakan hal yang berfaidah dan dapat
diterima secara akal.
3Yang kemudian dikenal Eyang Ia.
4Perlu dikaji ulang kembali pernyataan / maksud pernyataan tersebut
5menurut sumber lain putra bawaan ini adalah tiga anak. 1. Hj.
Juariyah, 2. Mak Emi (ibunya Abah Sodikin, Cilenga), dan 3. Bapak Sanyum (Ayah
dari Haikin dan Solihin, Cilenga)
6Beliau meninggal di saat Mama ikut perang gerilya di daerah Pangkalan
melawan Agresi Militer Belanda ke-2, sejak tanggal 19 Desember 1948.
halaman 2
Nama
masa kecil beliau adalah Ahidin. Beliau merupakan putra pertama
dari tiga putra laki-laki H. Kurdi. Dari Ketiga anaknya tersebut, Mama mendapat
perlakuan istimewa dari Sang Ayah dibanding dengan kedua adik-adiknya.
Seperti
hal kalau kebetulan bepergian dengan membawa ketiga putranya tersebut, H. Kurdi
selalu menggendong Mama (anak tertua), sedangkan kedua adiknya dibiarkan
berjalan sendiri. Betul-betul suatu keanehan (mahiwal) yang
akan
mengundang keheranan dan ocehan orang-orang. Tapi beliau tidak memperdulikan
pandangan orang-orang tersebut. Hal ini mungkin berdasarkan keyakinan
beliau bahwa yang digendong ini seorang ulama.
3.
Masa Menuntut Ilmu
Mama Syaikhuna KH. Ahmad Faqih Bin H. Kurdi Bin H. Musa pertama kali menuntut ilmu di tanah kelahirannya kepada KH. Moch. Syabandi, Mama belajar mengaji pada KH. Moch. Syabandi hanya mencapai ilmu shorof (itu juga belum tahqiq).
Kemudian setelah lulus SR ( Sekolah Rakyat ) sekitar usia 12
tahun beliau berangkat1
menuntut ilmu ke Sukamanah Tasikmalaya
kepada KH. Zaenal Mustofa (pahlawan Nasional dan salah satu alumni pesantren
KH. Moch. Syabandi). Beliau menuntut ilmu di Sukamanah kurang lebih sekitar 12
tahun dari tahun 1925 - 1937 M. Dan adapun guru-guru sorogan Mama pada waktu di
Sukamanah di antaranya: KH. Rukhyat
Cipasung, KH. Faqih Damini Al-Mubarok, Cibalanarik. Dan beliaupun mempunyai
kakak kelas sekaligus teman seperjuangan ( yang diketahui nara sumber) yaitu KH. Mahmud Zuhdi Sumedang.
Setelah menuntut ilmu di Sukamanah tahun 1937 M. Beliaupun memperdalam ilmu falak kepada KH. Fakhrurrozi selama kurang lebih satu bulan pada saat bulan Romadhon di daerah Sukalaya, Gunung Sabeulah Tasikmalaya. Setelah itu beliau tidak pernah bermuqim di mana-mana lagi, beliau langsung muqim di Kp. Kebonkalapa Ds. Sumelap Kec. Cibeureum Kab. Tasikmalaya.
Mama KH. Ahmad Faqih Bin H.
Kurdi Bin H. Musa adalah angkatan ketiga lulusan pesantren Sukamanah, adapun
urutan angkatan pesantren Sukamanah diantaranya:
a. Angkatan pertama satu orang
yaitu Ajeungan Hambali (bermuqim di Ciamis)
b. Angkatan kedua yaitu : Ajeungan A. Shobir, KH. Mahmud Zuhdi dan Ajeungan Syamsuddin (Parakanlisung)
c. Ankatan ketiga yaitu: Mama KH. Ahmad Faqih, Ajeungan Burhan (Sukahurip), Ajeungan Ma’rif dan Ajeungan Emor ( Rancapaku) 2
b. Angkatan kedua yaitu : Ajeungan A. Shobir, KH. Mahmud Zuhdi dan Ajeungan Syamsuddin (Parakanlisung)
c. Ankatan ketiga yaitu: Mama KH. Ahmad Faqih, Ajeungan Burhan (Sukahurip), Ajeungan Ma’rif dan Ajeungan Emor ( Rancapaku) 2
Mengenai Ua KH. Khoer Afandi
(Pendiri Ponpes Miftahulhuda Manonjaya Tasikmalaya), ketika Beliau menuntut ilmu di pesantren Legokringgit (di Pesantren
muqimin Sukamanah) 3. Beliau selalu mengikuti TARKIBAN (studi
banding) ke Pesantren Sukamanah babadan (angkatan) ke-5.
=======================================
1Keberangkatan
ini Atas keinginan sang ayah. Karena pada awalnya beliau bercita-cita
menjadi petani sukses, tidak ingin menjadi kyai. Diceritakan, pernah suatu hari
saking kesalnya pada sang anak yang tidak mau mesantren, H. Kurdi mengajak
beliau ke pasar untuk membeli cangkul baginya. Di pasar sang anak disuruh memilih jenis cangkul. Setelah menunjukan cangkulnya
tersebut langsung saja H. Kurdi memperlihatkan kemarahannya, sambil berkata, “
Atuh leutik eta mah. Kagok ! Tah ieu yeuh !” Sambil mengacungkan sebuah cangkul
yang paling besar, yang seolah- olah mau
dipukulkan kepada beliau. Melihat gelagat Sang ayah seperti itu, maka langsung
saja beliau lari pergi ke Pesantren Sukamanah, sesuai keinginan Sang Ayah
semula.
2 Mungkin
termasuk pada angkatan ini adalah Ajengan Enoh (Awipari)
3Anu jenenganana
nyaeta Ajengan Mashluh. Anjena saena dilebetkeun kana babadan ke-3
sareng Ajengan Zabidi, Nagarakasih (Pangasuh Mama waktos di Sukamanah). Anapon
para pangersa nu dicarioskeun dina poin (c) saena dilebetkeun kana babadan ke-4. (ti K. Acep Sanus
sareng ti K. Asep FM)
Sekitar tahun 1952-1953 M. beliau pindah lagi ke Sumelap, dan sekitar tahun 1953 M beliau pindah ke daerah Lakbok, Banjar Kab. Ciamis karena memang di sana beliau mempunyai sebidang tanah (sawah/ladang) dan berencana mendirikan pesantren di sana, namun karena di sana PKI sedang merajalela beliaupun dikepung dan hampir tertangkap.
============================================
Kemudian sekitar tahun 1954 M, beliau pindah lagi kedaerah sebelumnya, Sumelap, setelah berada di Sumelap beliau pun dicurigai oleh TRI (Tentara Republik Indonesia). TRI curiga bahwa beliau bersekutu dengan DI/TII ( Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) yang ditunggangi oleh PKI dan memang berpusat di Tasikmalaya sebagai pemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, beliaupun sempat tertangkap oleh TRI dan dipenjarakan selama 40 hari di sebuah gudang markas TRI di Awipari, di sini pulalah beliau mengalami siksaan berat dari oknum TRI, menurut Bpk. Sodikin, cucu tiri H. Kurdi (cucu dari Hj. Halimah) 1 . Pada saat Mama dan rekan-rekan hendak dilindas oleh oknum TRI menggunakan kereta-api seketika itu pula kereta tersebut mendadak berhenti dan pada akhirnya Mama dan rekan-rekan selamat dari kekejaman oknum TRI.
2Menurut penuturan lain dari Abah Sodikin bahwa santri yang ikut saat itu berjumlah Sembilan orang, yaitu: 1. Kunang (Pangkalan), 2. Rafi’I (Sumelap), 3. Majid (Nyantong), 4. Ma’sum (Nyantong, yang kemudian mukim di Sukawening), 5. Ace (Langkaplancar), 6. Umar (Sumelap), 7. Atif/ Entif (Sumelap, yang kemudian mukim di Ngamprah), 8. Jamaludin (Sumelap, yang kemudian mukim di Bojongsari), dan 9. Sodikin (Cilenga).
Setelah memiliki lahan sawah tersebut, Abah membeli sebuah satu unit rumah panggung di Kp. Kanayakan. Rumah tersebut dipindahkan dan ditempatkan di Ciendog. Pemindahan tersebut terjadi pada tahun 1958 M, sekaligus menjadi tahun pertama bagi Abah dan kesembilan santrinya tinggal di Ciendog. 9 orang santri tersebut adalah:
KH. Zaenal Mustofa Sukamanah, beliau menuntut ilmu di daerah Cantayan, Gunung Puyuh Sukabumi ( di Pesantren Alm. KH.Ahmad Sanusi)3, selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian beliau ( KH. Zaenal Mustofa) disuruh meneruskan menuntut ilmu kepada KH. Moch. Syabandi dengan tujuan menamatkan kitab Jam’ul Jawami’ sekitar kurang lebih tujuh tahun hingga bermuqim di Sukamanah.
halaman 3
1. Perjalanan Dan Perjuangan Mengamalkan Ilmu
Sekitar tahun 1938 M. setelah menikahi Hj. Juhaenah yang berasal
dari Kp. Kebonkalapa Ds . Sumelap Kec. Cibeureum , dalam perjalanan pengamalan
ilmu, begitu banyak rintangan yang dihadapi beliau, karena pada waktu itu
Negara kita masih diduduki oleh kolonial Belanda.
Seiring dengan itu, jiwa patriotisme yang beliau peroleh saat di
Pesantren mendorong beliau turut serta aktif mempelopori gerakan “Hizbulloh” di daerahnya yang menentang terhadap penjajahan
Belanda. Melihat kuatnya aqidah dan jiwa patriotisme beliau, Belandapun
menaruh curiga kepada pesantren-pesantren dan sejenisnya yang dianggap akan
membahayakan kedudukan mereka. Mama KH. Ahmad Faqih pun sering ditangkap dan
keluar masuk penjara.
Pada tanggal 9 Maret 1942 M, Belanda dipukul mundur oleh Jepang. Mama KH. Ahmad
Faqih beserta kyai lainnya dibebaskan kembali setelah mengalami hukuman penjara
selama beberapa hari.
Akan tetapi ibarat kata “Dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya”
Jepang pun tak ada bedanya dengan Belanda. Pembuktian sejarah ketika terjadi pemberontakan Sukamanah tahun 1944 M. yang
dipimpin oleh KH. Zaenal Mustofa. Yang akhirnya meskipun Mama KH. Ahmad Faqih
tidak secara langsung ikut serta dalam pemberontakan tersebut namun karena
beliau merupakan salah satu alumni dari pesantren Sukamanah Jepang pun berusaha
menangkapnya.
Pasca kemerdekaan RI 17
Agustus 1945 M. Beliau mendirikan pesantren di Kampung Kebonkalapa Kecamatan
Cibeureum. Namun Belanda yang terusir dari tanah Indonesia datang kembali dalam
Agresi Militer I, 27 Mei 1947 M.
Keadaan ini tentu saja memberikan pengaruh yang sangat negatif terhadap
penyelenggaraan pesantren dan lembaga-lembaga nonformal lainya. Dan pada
akhirnya Belandapun membakar pesantren yang Mama dirikan dengan susah payah,
dan tidak hanya itu merekapun berusaha menangkap Mama KH. Ahmad Faqih.
Untuk menghindari dari kejaran Belanda, beliau mengungsi ditanah
kelahirannya di Cilenga. Dan pada waktu itu beliau sudah beristri dua yaitu Hj. Juhaenah dan
Hj. Qoni’ah, dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yaitu KH. Zaenal Mustofa (
putra dari Hj. Juhaenah) dan KH. Mamal Mali Murtadlo ( putra dari Hj. Qoni’ah).
Belanda terus saja mengejar beliau, kemudian beliaupun mengungsi ke
Kp. Parakanlisung dan di Kampung inilah istri pertama beliau Hj. Juhaenah
meninggal dunia akibat terkena pecahan bom tentara Belanda. Di
mana sebelum Hj. Juhaenah meninggal, Hj. Juhaenah sedang mengemban (dalam
bahasa sunda artinya mengais) KH. Mamal Mali Murtadlo. Mendengar adanya pesawat tentara Belanda Hj. Juhaenah pun memberikan
KH. Mamal Mali Murtadlo kepada Hj. Qoni’ah dan seketika itu pula Hj. Juhaenah
terkena pecahan bom dan akhirnya meninggal dunia.1
Dari Parakanlisung, Mama pindah lagi ke Kp. Cilenga Girang, dari
Cilenga Girang pindah lagi menuju ke Kp. Pangkalan kemudian pindah lagi ke
Cilengger (persis dikaki Gunung Galunggung). Setelah beberapa bulan di
Cilengger beliau beserta keluarga pindah kembali ke Sumelap. Dan ketika berada
di Sumelap beliaupun tertangkap oleh Belanda, satu bulan setelah beliau
ditangkap beliaupun dibebaskan kembali karena adanya pengakuan kedaulatan RI
dari PBB tanggal 27 Desember 1949 M.
Pada sekitar tahun 1951 M. Mama
beserta keluarganya pindah mengungsi ke Cirebon sembari berdagang pakaian dan
lain-lain, dan di Cirebon pulalah istri beliau Hj. Qoni’ah kembali melahirkan
seorang anak laki-laki yaitu KH. Hilman Abdurrahman.
Sekitar tahun 1952-1953 M. beliau pindah lagi ke Sumelap, dan sekitar tahun 1953 M beliau pindah ke daerah Lakbok, Banjar Kab. Ciamis karena memang di sana beliau mempunyai sebidang tanah (sawah/ladang) dan berencana mendirikan pesantren di sana, namun karena di sana PKI sedang merajalela beliaupun dikepung dan hampir tertangkap.
============================================
1Peristiwa tersebut terjadi sekitar awal tahun 1949 M, di saat sedang
berlangsungnya Agresi Meliter Belanda II sejak 19 Desember 1948 M. “Basa Wa Uha
maot, kena bom teh, yakin Eyang Kurdi mah aya keneh”, begitu kata KH. Mumu
Mukhtar Soleh. Tidak diketahui secara pasti kapan H. Kurdi wafat. Tetapi kalau
merujuk kepada keterangan Abah Sodikin yang menyebutkan bahwa beliau meninggal
dunia pada waktu Mama mengungsi di Pangkalan, bahwa Beliau wafat pertengahan
tahun 1949 M. Wallahu ‘alam.
halaman 4
Kemudian sekitar tahun 1954 M, beliau pindah lagi kedaerah sebelumnya, Sumelap, setelah berada di Sumelap beliau pun dicurigai oleh TRI (Tentara Republik Indonesia). TRI curiga bahwa beliau bersekutu dengan DI/TII ( Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) yang ditunggangi oleh PKI dan memang berpusat di Tasikmalaya sebagai pemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, beliaupun sempat tertangkap oleh TRI dan dipenjarakan selama 40 hari di sebuah gudang markas TRI di Awipari, di sini pulalah beliau mengalami siksaan berat dari oknum TRI, menurut Bpk. Sodikin, cucu tiri H. Kurdi (cucu dari Hj. Halimah) 1 . Pada saat Mama dan rekan-rekan hendak dilindas oleh oknum TRI menggunakan kereta-api seketika itu pula kereta tersebut mendadak berhenti dan pada akhirnya Mama dan rekan-rekan selamat dari kekejaman oknum TRI.
Adapun
rekan-rekan Mama yang hendak dilindas antara lain:
Ø Abah Abas
Ø Ajeungan Rosyidin (murid Mama dari Kebonkalapa)
Ø Abah Ahmad (Ajeungan Karanganyar)
Ø Abah Abas
Ø Ajeungan Rosyidin (murid Mama dari Kebonkalapa)
Ø Abah Ahmad (Ajeungan Karanganyar)
Ø H. Latif
Pada sekitar tahun 1956 M.
beliau ikut mengajar di Pesantren Cilendek yang dipimpin oleh Kyai
Bahrum/Ajeungan Enoh ( Adik kelas Mama sewaktu menuntut ilmu di Sukamanah)
sambil mengungsi. Pertikaian antara DI/TII dan TRI membawa pengaruh buruk bagi Mama
KH. Ahmad Faqih sebagai seorang Kyai di Pesantren Cilendek. TRI menganggap
beliau bersekutu dengan DI/TII begitu juga sebaliknya. Sekitar tahun 1956 M.
Mama KH. Ahmad Faqih dibawa oleh KH. Ahmad Karanganyar yang berasal dari Sumelap
menuju ke daerah Pasirhonje, Ds. Ciranjang, Kec. Ciranjang, Kab. Cianjur
(sekarang desa Cibiuk) ke kediaman Mang Khudlori (kakak dari KH. Ahmad), yang
membawa KH. Ahmad Faqih beserta delapan orang santri. Adapun delapan orang
santri tersebut diantaranya:
1. Unang, Cilenga
2. Rapi’I,
Nyantong
3. Majid,
Nyantong
4. Ma’sum,
Awilega
5. Ma’sum,
Cibeas
6. Husna,
Sukahurip
7. Aa
Daqiq, Kebonkalapa
8. Abdulloh, Ciatal 2
Karena di Pasirhonje masih dalam keadaan
darurat, maka Mamapun pindah lagi ke Kp. Ngamprah, dari Ngamprah pindah lagi ke
Sukaweuning dan dari Sukaweuning pindah lagi ke Kp. Ciendog sampai sekarang.
(Selengkapnya akan diceritakan kemudian di subjudul “Hijrah ke Cianjur”)
Pertamakali, setelah menjalani masa tahanan, di tahun 1956 Abah hijrah ke
Cianjur. Beliau ikut dengan Abah Dorrie (Mang Khudlori). Dia seorang saudagar samak
dari Awipari (Kec. Cibeureum, Tasikmalaya) yang selalu iang barang ke Cianjur. Rombongan Abah, yang disertai sembilan orang
===================================================
===================================================
1Abah Sodikin ini adalah Putra Mak Emi, Mak Emi
putra kedua dari Hj. Halimah. Atau Abah
Sodikin ini dapat juga dikatakan keponakan (suan, istilah Sunda)-nya H. Kurdi,
karena beliau adalah putranya K. Suryadi. Sedangkan K. Suryadi ini adalah
Adiknya H. Kurdi. Jadi, kalau dilihat dari fihak ibu (Mak Emi), Abah Sodikin
ini sebagai keponakan Mama Faqih. Adapun kalau dilihat dari fihak ayah (Ki
Suryadi), Abah Sodikin ini sebagai adik sepupuh Mama Faqih. Sejak kecil beliau
mengikuti Mama Faqih, yaitu sejak Mama Faqih tinggal di Sumelap. Beliau, yang
pada saat itu masih tinggal bersama Neneknya (Hj. Halimah) di Cilenga, disuruh
oleh neneknya tersebut untuk menyusul tinggal di Sumelap, mengikuti Mama Faqih.
Konon katanya, beliau berangkat pakai sepeda.
2Menurut penuturan lain dari Abah Sodikin bahwa santri yang ikut saat itu berjumlah Sembilan orang, yaitu: 1. Kunang (Pangkalan), 2. Rafi’I (Sumelap), 3. Majid (Nyantong), 4. Ma’sum (Nyantong, yang kemudian mukim di Sukawening), 5. Ace (Langkaplancar), 6. Umar (Sumelap), 7. Atif/ Entif (Sumelap, yang kemudian mukim di Ngamprah), 8. Jamaludin (Sumelap, yang kemudian mukim di Bojongsari), dan 9. Sodikin (Cilenga).
halaman 5
santri itu, sampailah di kampung Pasirhonje (Ciranjang). Di sana Abah
tinggal hanya dua minggu saja, yang kemudian disarankan oleh seorang tokoh di
sana untuk pindah ke kampung
Ngamprah, Desa Gununghalu (sekarang termasuk Desa Sindangjaya), yang kebetulan
ada rumah kosong. Di Ngamprah ini tinggal hanya satu tahun, sambil mencari
tempat yang cocok untuk mendirikan PESANTREN. Kemudian pindah lagi ke kampung
Leuweungkonde. Di sana menetap cukup lama yaitu dua tahun, yaitu setelah
mendapatkan sebuah areal sawah, tapi keadaannya kurang bagus (bangkar),
karena ke sana belum diberi aliran air
oleh pihak yang berwenang (Camat Ciranjang). Areal tersebut
terletak di pinggiran KAMPUNG CIENDOG, yang kemudian disebut Block Ciendog.
Setelah memiliki lahan sawah tersebut, Abah membeli sebuah satu unit rumah panggung di Kp. Kanayakan. Rumah tersebut dipindahkan dan ditempatkan di Ciendog. Pemindahan tersebut terjadi pada tahun 1958 M, sekaligus menjadi tahun pertama bagi Abah dan kesembilan santrinya tinggal di Ciendog. 9 orang santri tersebut adalah:
1.
Kang Kunang, asal
Pangkalan, Singaparna
2.
Kang Rofi’i, asal
Sumelap, Cibeureum
3.
Kang Majid, asal Nyantong,
Cibeurem
4.
Kang maksum, asal Nyantong
Cibeureum, dan lalu menetap di Sukawening, Gununghalu
5.
Kang Ace, asal
Langkaplancar, Ciamis
6.
Kang Umar, asal Sumelap
7.
Kang Apip (Entip), asal
Sumelap, dan lalu menetap di Ngamprah
8.
Kang Jamaludin, asal
Sumelap, dan lalu menetap di Bojongsari, Ciranjang (sekarang termasuk Kec.
Sukaluyu)
9.
Kang Sodikin, asal
Parakanlisung, Singaparna, dan lalu menetap di Cilenga
Tak lama setelah menempati rumah baru di
Ciendog, baru kemudian keluarga (anak dan istri) Abah menyusul ke Cianjur. Masa-masa ini adalah masa di mana
dimulainya pembangunan BANGUNAN PONDOK PESANTREN, yaitu tahun itu juga, tahun
1958 M. pondok berhasil
dibangun dengan type sederhana. Type duduk jandela, itulah istilahnya.
Sebuah bangunan pondok pesantren berukuran kurang lebih 25 x 6 meter, memanjang
dari timur ke barat, meliputi 12 pasang kobong yang menghimpit ruas jarambah
di tengah. Total jadi 24 kobong. Itupun untuk lantai pertama. Lantai 2
dibuat ruangan besar sebagai ruangan serbaguna para santri. Sholat berjamaah,
ngaji balaghan, soroghan, dan
kegiatan ngaji lainnya dilakukan di ruangan besar lantai 2 ini. Kegiatan ngaji
dipimpin oleh Abah sendiri. Diceritakan bahwa Abah mengajar ngaji santri mulai
pukul 03.30 pagi dan kemudian pukul 11.00 siang baru keluar turun dari lantai
dua tersebut. Sebagian besar waktunya hanyalah untuk mengajar dan mengajar,
mengajar santri sambil mencari metode pengajaran terbaik supaya santrinya
menjadi kyai dengan masa belajar yang tidak lama. Seluruh pengalaman ngajinya
selama di Tasik dulu beliau gunakan sebagai dasar untuk menghasilkan metode
tercepat. Pengalamannya di Sukamanah, waktu nyantren di KH. Zainal Mustofa
menjadi corak utama metode cepat yang dihasilkan. Abah berkata, “Ieu pamurukan
teh menang neplak ti KH. Zainal Mustofa.” Begitu seperti yang dituturkan oleh
Aj. Agus Ramdani, santri Abah yang mukim di Cilenga.
Adapun pembangunan Masjid baru bisa mulai
pada akhir tahun 1967 M, yaitu di tahunan Abah Sodikin
berhenti dan pulang ke Tasikmalaya. Sebelumnya, di saat Abah Sodikin pulang, Mesjid belum mulai dibangun 1. Di akhir tahun 1968 2, mesjid pertama berhasil dibangun. Areal pesantren Pasirnangka yang kini berdiri di atas tanah berukuran ............
===========================================
1Pada saat itu hanya dibangun sebuah tajug kecil tipe ‘duduk jandela’ ukuran
sekitar 3 x 4 meter di sebidang tanah yang menjadi cikal-bakal pendirian mesjid
sekarang ini. Kemudian direhab menjadi ukuran 5 x 6 m . Begitulah menurut
kesaksian K. Ae Jaelani (salah-satu santri angkatan ke-3).
Perlu dicatat bahwa para
santri angkatan ke-3 ini pernah disinggung pada acara syahriyahan Jumadil Akhir
1438 H. oleh salah seorang pesertanya, yaitu KH. Syahrudin, Tasikmalaya. Beliau
menyebutkan beberapa orang santri ‘kurun’ ke-1, ke-2, dan ke-3.
Kurun ke-1, seperti: K. rofi’i,
Kurun ke-2, seperti: K. Uloh, K. Ikho, K. Enni, K. Husna, K. Emud, K.
Komar, dan K. Mukhtar Ciakar.
halaman 6
..... 3600
bata, merupakan lahan pembelian hasil menjual lahan Abah yang di Cilenga seluas
300 bata. Lahan yang 300 bata tersebut dijual dengan harga Rp. 300,- / bata. Dengan
uang Rp. 90.000,- tersebut Abah dapat membeli lahan di
Ciendog seluas 3600 bata, karena harganya
lebih murah daripada di Tasikmalaya, yaitu harga Rp. 25,- /bata. Dari 300 bata terjual menjadi 3600 bata terbeli.
Alhamdulillah.
Santri-santri Abah generasi ke-2,
diantaranya :
1. Kang Jami'an (Cijulang)
2. Kang Sholeh (Karawang)
3. Kang Ja'far (Purwakarta)
4. Kang Ikho (Ciranji)
5. Kang Enem (Leles)
6. Kang Kiki (Sumelap)
7. Kang Abas (Sumelap)
6. Silsilah Keguruan Mama
KH. Zaenal Mustofa Sukamanah, beliau menuntut ilmu di daerah Cantayan, Gunung Puyuh Sukabumi ( di Pesantren Alm. KH.Ahmad Sanusi)3, selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian beliau ( KH. Zaenal Mustofa) disuruh meneruskan menuntut ilmu kepada KH. Moch. Syabandi dengan tujuan menamatkan kitab Jam’ul Jawami’ sekitar kurang lebih tujuh tahun hingga bermuqim di Sukamanah.
Mama KH. Moch.
Syabandi muqim dan
menuntut ilmu di Mekah Almukarroamah selama empat belas tahun (antara tahun
1903-1917 M). Dan juga pernah berbarengan dengan KH. Hasyim Asy’ary Tebuireng
Jombang ( pendiri Nahdlotul Ulama). Adapun guru-guru KH. Moch. Syabandi pada waktu menuntut ilmu
di Mekah, yaitu para Ulama
dari jajaran
Madzhab Syafi’I diantaranya:
ØKH. Mahfud Bin Abdulloh
Termas
ØKH. Abdul Wahhab Minangkabau
Mereka adalah Ulama Indonesia yang bermuqim di Mekah sekaligus menjadi guru dari jajaran Madzhab Syafi’i.
ØKH. Abdul Wahhab Minangkabau
Mereka adalah Ulama Indonesia yang bermuqim di Mekah sekaligus menjadi guru dari jajaran Madzhab Syafi’i.
Kurun ke-3, seperti: Simkuring (KH. Syahrudin, ke Almusri’ pada tahun
1961), K. Ae Jaelani, dan K. Dasuki.
Beliau juga sangat
terkagum-kagum terhadap K. Uloh saat itu yang membaca kitab ‘Fathul Wahab’ yang
sangat lancar seperti membaca koran. (ditambahkan pada hari Ahad, 05-03-2017
M.)
2 Berbeda dengan edisi-edisi
sebelumnya, mengenai angka-angka tahun ini sekarang disesuaikan dengan
keterangan dari KH. Mamal M Murtadlo (sesepuh sekarang). “Mesjid pertama
dibangun, yaitu setelah terjadinya peristiwa GESTAPU tahun 1965 M.” Kata
Beliau.
3 Jalur KH. Zaenal Mustafa,
Beliau dari KH. Ahmad Sanusi, KH. Ahmad
Sanusi dari KH. Obay Syaubari (Ki Wedus), Ciwedus, Cilimus, Kuningan, KH. Obay
Syaubari dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Adapun dari jalur Sang Ayah, H. Kurdi
dari Mama H. Ahmad Suja’I, Gudang, Mama H. Ahmad Suja’I dari KH. Obay Syaubari,
Ciwedus.
الكواكب اللماعة في التحقيق
Oleh Apakayank
===================================================================
Infaq Fisabilillah hanya Rp 1.100.000,- (berhadiah umroh atau haji senilai Rp 25.000.000,-)
atau download di Play Store
UNDROID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar