Jumat, 29 September 2017

MAMA KH. AHMAD FAQIH, ALMUSRI'

halaman 1


BAB I. BIOGRAFI SINGKAT MAMA FAQIH
(Pendiri Pontren Miftahulhuda Al-Musri’)

1.       Tentang Kelahiran

Kelahiran Mama KH. Ahmad Faqih berawal dari cerita yang sangat unik, di mana sewaktu ayah beliau H. Kurdi Bin H. Musa menuntut ilmu di Pesantren Gudang (salah satu pesantren terbesar di daerah Tasikmalaya) sekitar tahun 1907 M. Tak berselang lama H. Kurdi mondok di sana. Pada suatu hari H. Kurdi bin H. Musa1 dipanggil oleh gurunya, dan disuruh pulang2, padahal pada masa itu beliau merasa belum bisa apa-apa.

Tak berselang lama ketika beliau berada di Kampungnya, Beliaupun menikah dengan salah seorang gadis pilihannya3, dan dari pernikahan inilah Beliau dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Rukmini. Karena beliau teringat perkataan gurunya , bahwasannya Beliau akan dikaruniai anak laki-laki yang sholeh, maka beliaupun menceraikan istrinya4. Dan H. Kurdi pun menikah lagi dengan seorang janda beranak dua yang bernama Hj. Halimah, anak dari Hj. Halimah yaitu Hj. Juariyah dan Bapak Enjum.5
Setelah sekian lama H. Kurdi menanti disertai dengan do’a yang terus menerus, maka terkabulah permohonan Beliau dan Beliau dikarunia anak laki-laki yaitu Syaikhuna Almukarrom Mama KH. Ahmad Faqih yang lahir pada bulan Januari 1913 M. / Shafar 1331 H. di Kp. Cilenga Ds. Leuwisari Kec. Leuwisari Kab. Tasikmalaya. Kemudian lahir pula dua anak laki-laki bernama Kyai Jamaludin dan Kyai Ahmad Romli, mereka bertiga beda selang usia satu tahun.
Mama H. Kurdi wafat setelah Indonesia merdeka sekitar tahun 1949 6, makamnya berada di Kp. Kubangsari Desa Arjasari  kec. Leuwisari Kab. Tasikmalaya ( 2 km sebelum Cilenga dari arah Singaparna )

2.     MASA KECIL
==============================================
1dari asal naskah tertulis H. Kurdi bin Artibah. Kemudian ada perubahan, karena mungkin Artibah tersebut maksud lain dari IBAH. IBAH ini adalah kakak (tertua) nya H. Kurdi.

2 Dalam percakapannya dengan Mama KH. Suja'i (Mama Gudang), beliau mengatakan bahwa beliau merasa belum bisa mengaji, oleh karenanya beliau masih ingin bertholabul ilmi serta terus berkhidmat pada gurunya tersebut (menurut riwayat yang tsiqoh : Mama Kurdi merupakan Khodam/Laden mama Gudang). Dalam merespon curhat santrinya Mama Gudang mengatakan bahwa beliau (Mama Kurdi;red) memang tidak akan bisa mengaji – selevel Kyai di Zamannya-. Tapi nanti dari garis turunannaya akan ada yang menjadi seorang Ulama, oleh karenanya beliau disuruh pulang saja untuk berkeluarga dan bermasyarakat.
Sikap dari Mama Kurdi yang ingin terus berkhidmat sangatlah wajar, sebagaimana dikatakan dalam Syarah kitab Ta'lim al-Muta'allim hal 37 : Bagi yang ingin putranya alim, hendaklah memperhatikan para pengembara dari golongan ahli Fiqih, dengan memuliakan, mengagungkan dan memberikan sesuatu kepada mereka, maksudnya bershodaqoh kepada mereka – dan diantara bentuk shodaqoh itu dengan tenaga – walaupun itu sedikit. Kalaupun anak-anak mereka tidak menjadi seseorang yang ahli ilmu, setidaknya cucu mereka yang kelak akan menjadi orang alim. Maka jelaslah dalam uraian ini, bahwasannya akibat mengagungkan dan memuliakan ulama merupakan hal yang berfaidah dan dapat diterima secara akal.

3Yang kemudian dikenal Eyang Ia.

4Perlu dikaji ulang kembali pernyataan  / maksud pernyataan tersebut

5menurut sumber lain putra bawaan ini adalah tiga anak. 1. Hj. Juariyah, 2. Mak Emi (ibunya Abah Sodikin, Cilenga), dan 3. Bapak Sanyum (Ayah dari Haikin dan Solihin, Cilenga)

6Beliau meninggal di saat Mama ikut perang gerilya di daerah Pangkalan melawan Agresi Militer Belanda ke-2, sejak tanggal 19 Desember 1948.

halaman 2

Nama masa kecil beliau adalah Ahidin. Beliau merupakan putra pertama dari tiga putra laki-laki H. Kurdi. Dari Ketiga anaknya tersebut, Mama mendapat perlakuan istimewa dari Sang Ayah dibanding dengan kedua adik-adiknya.
Seperti hal kalau kebetulan bepergian dengan membawa ketiga putranya tersebut, H. Kurdi selalu menggendong Mama (anak tertua), sedangkan kedua adiknya dibiarkan berjalan sendiri. Betul-betul suatu keanehan (mahiwal) yang
akan mengundang keheranan dan ocehan orang-orang. Tapi beliau tidak memperdulikan pandangan orang-orang tersebut. Hal ini mungkin berdasarkan keyakinan beliau bahwa yang digendong ini seorang ulama.

3.       Masa Menuntut Ilmu

Mama Syaikhuna KH. Ahmad Faqih Bin H. Kurdi Bin H. Musa pertama kali menuntut ilmu di tanah kelahirannya kepada KH. Moch. Syabandi, Mama belajar mengaji pada KH. Moch. Syabandi hanya mencapai ilmu shorof (itu juga belum tahqiq).
Kemudian setelah lulus SR ( Sekolah Rakyat ) sekitar usia 12 tahun beliau  berangkat1 menuntut ilmu ke  Sukamanah Tasikmalaya kepada KH. Zaenal Mustofa (pahlawan Nasional dan salah satu alumni pesantren KH. Moch. Syabandi). Beliau menuntut ilmu di Sukamanah kurang lebih sekitar 12 tahun dari tahun 1925 - 1937 M. Dan adapun guru-guru sorogan Mama pada waktu di Sukamanah di antaranya: KH. Rukhyat Cipasung, KH. Faqih Damini Al-Mubarok, Cibalanarik. Dan beliaupun mempunyai kakak kelas sekaligus teman seperjuangan ( yang diketahui nara sumber)  yaitu KH. Mahmud Zuhdi Sumedang.

Setelah menuntut ilmu di Sukamanah tahun 1937 M. Beliaupun memperdalam ilmu falak kepada KH. Fakhrurrozi selama kurang lebih satu bulan pada saat bulan Romadhon di daerah Sukalaya, Gunung Sabeulah Tasikmalaya. Setelah itu beliau tidak pernah bermuqim di mana-mana lagi, beliau langsung muqim di Kp. Kebonkalapa Ds. Sumelap Kec. Cibeureum Kab. Tasikmalaya.

Mama KH. Ahmad Faqih Bin H. Kurdi Bin H. Musa adalah angkatan ketiga lulusan pesantren Sukamanah, adapun urutan angkatan pesantren Sukamanah diantaranya:
   
 a. Angkatan pertama satu orang yaitu Ajeungan Hambali (bermuqim di Ciamis)
 b. Angkatan kedua yaitu : Ajeungan A. Shobir, KH. Mahmud Zuhdi dan Ajeungan Syamsuddin (Parakanlisung)
 c. Ankatan ketiga yaitu: Mama KH. Ahmad Faqih, Ajeungan Burhan (Sukahurip), Ajeungan Ma’rif dan Ajeungan Emor ( Rancapaku) 2
Mengenai Ua KH. Khoer Afandi (Pendiri Ponpes Miftahulhuda Manonjaya Tasikmalaya), ketika Beliau menuntut ilmu di pesantren Legokringgit (di Pesantren muqimin Sukamanah) 3. Beliau selalu mengikuti TARKIBAN (studi banding) ke Pesantren Sukamanah babadan (angkatan) ke-5.
=======================================
1Keberangkatan ini Atas keinginan sang ayah. Karena pada awalnya beliau bercita-cita menjadi petani sukses, tidak ingin menjadi kyai. Diceritakan, pernah suatu hari saking kesalnya pada sang anak yang tidak mau mesantren, H. Kurdi mengajak beliau ke pasar untuk membeli cangkul baginya. Di pasar sang anak disuruh memilih jenis cangkul. Setelah menunjukan cangkulnya tersebut langsung saja H. Kurdi memperlihatkan kemarahannya, sambil berkata, “ Atuh leutik eta mah. Kagok ! Tah ieu yeuh !” Sambil mengacungkan sebuah cangkul yang paling besar, yang seolah- olah mau dipukulkan kepada beliau. Melihat gelagat Sang ayah seperti itu, maka langsung saja beliau lari pergi ke Pesantren Sukamanah, sesuai keinginan Sang Ayah semula.

2 Mungkin termasuk pada angkatan ini adalah Ajengan Enoh (Awipari)

3Anu jenenganana nyaeta Ajengan Mashluh. Anjena saena dilebetkeun kana babadan ke-3 sareng Ajengan Zabidi, Nagarakasih (Pangasuh Mama waktos di Sukamanah). Anapon para pangersa nu dicarioskeun dina poin (c) saena dilebetkeun kana babadan ke-4. (ti K. Acep Sanus sareng ti K. Asep FM)

halaman 3



1.     Perjalanan Dan Perjuangan Mengamalkan Ilmu

Sekitar tahun 1938 M. setelah menikahi Hj. Juhaenah yang berasal dari Kp. Kebonkalapa Ds . Sumelap Kec. Cibeureum , dalam perjalanan pengamalan ilmu, begitu banyak rintangan yang dihadapi beliau, karena pada waktu itu Negara kita masih diduduki oleh kolonial Belanda.

Seiring dengan itu, jiwa patriotisme yang beliau peroleh saat di Pesantren mendorong beliau turut serta aktif mempelopori gerakan “Hizbulloh” di daerahnya yang menentang terhadap penjajahan Belanda. Melihat kuatnya aqidah dan jiwa patriotisme beliau, Belandapun menaruh curiga kepada pesantren-pesantren dan sejenisnya yang dianggap akan membahayakan kedudukan mereka. Mama KH. Ahmad Faqih pun sering ditangkap dan keluar masuk penjara.
 
Pada tanggal 9 Maret 1942 M, Belanda dipukul mundur oleh Jepang. Mama KH. Ahmad Faqih beserta kyai lainnya dibebaskan kembali setelah mengalami hukuman penjara selama beberapa hari.

Akan tetapi ibarat kata “Dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya” Jepang pun tak ada bedanya dengan Belanda. Pembuktian sejarah ketika terjadi pemberontakan Sukamanah tahun 1944 M. yang dipimpin oleh KH. Zaenal Mustofa. Yang akhirnya meskipun Mama KH. Ahmad Faqih tidak secara langsung ikut serta dalam pemberontakan tersebut namun karena beliau merupakan salah satu alumni dari pesantren Sukamanah Jepang pun berusaha menangkapnya.
Pasca kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 M. Beliau mendirikan pesantren di Kampung Kebonkalapa Kecamatan Cibeureum. Namun Belanda yang terusir dari tanah Indonesia datang kembali dalam Agresi Militer I, 27 Mei 1947 M. Keadaan ini tentu saja memberikan pengaruh yang sangat negatif terhadap penyelenggaraan pesantren dan lembaga-lembaga nonformal lainya. Dan pada akhirnya Belandapun membakar pesantren yang Mama dirikan dengan susah payah, dan tidak hanya itu merekapun berusaha menangkap Mama KH. Ahmad Faqih.

Untuk menghindari dari kejaran Belanda, beliau mengungsi ditanah kelahirannya di Cilenga. Dan pada waktu itu beliau sudah beristri dua yaitu Hj. Juhaenah dan Hj. Qoni’ah, dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yaitu KH. Zaenal Mustofa ( putra dari Hj. Juhaenah) dan KH. Mamal Mali Murtadlo ( putra dari Hj. Qoni’ah).

Belanda terus saja mengejar beliau, kemudian beliaupun mengungsi ke Kp. Parakanlisung dan di Kampung inilah istri pertama beliau Hj. Juhaenah meninggal dunia akibat terkena pecahan bom tentara Belanda. Di mana sebelum Hj. Juhaenah meninggal, Hj. Juhaenah sedang mengemban (dalam bahasa sunda artinya mengais) KH. Mamal Mali Murtadlo. Mendengar adanya pesawat tentara Belanda Hj. Juhaenah pun memberikan KH. Mamal Mali Murtadlo kepada Hj. Qoni’ah dan seketika itu pula Hj. Juhaenah terkena pecahan bom dan akhirnya meninggal dunia.1
        
Dari Parakanlisung, Mama pindah lagi ke Kp. Cilenga Girang, dari Cilenga Girang pindah lagi menuju ke Kp. Pangkalan kemudian pindah lagi ke Cilengger (persis dikaki Gunung Galunggung). Setelah beberapa bulan di Cilengger beliau beserta keluarga pindah kembali ke Sumelap. Dan ketika berada di Sumelap beliaupun tertangkap oleh Belanda, satu bulan setelah beliau ditangkap beliaupun dibebaskan kembali karena adanya pengakuan kedaulatan RI dari PBB tanggal 27 Desember 1949 M.
 
 Pada sekitar tahun 1951 M. Mama beserta keluarganya pindah mengungsi ke Cirebon sembari berdagang pakaian dan lain-lain, dan di Cirebon pulalah istri beliau Hj. Qoni’ah kembali melahirkan seorang anak laki-laki yaitu KH. Hilman Abdurrahman.

Sekitar tahun 1952-1953 M. beliau pindah lagi ke Sumelap, dan sekitar tahun 1953 M beliau pindah ke daerah Lakbok, Banjar Kab. Ciamis karena memang di sana beliau mempunyai sebidang tanah (sawah/ladang) dan berencana mendirikan pesantren di sana, namun karena di sana PKI sedang merajalela beliaupun dikepung dan hampir tertangkap.

============================================
1Peristiwa tersebut terjadi sekitar awal tahun 1949 M, di saat sedang berlangsungnya Agresi Meliter Belanda II sejak 19 Desember 1948 M. “Basa Wa Uha maot, kena bom teh, yakin Eyang Kurdi mah aya keneh”, begitu kata KH. Mumu Mukhtar Soleh. Tidak diketahui secara pasti kapan H. Kurdi wafat. Tetapi kalau merujuk kepada keterangan Abah Sodikin yang menyebutkan bahwa beliau meninggal dunia pada waktu Mama mengungsi di Pangkalan, bahwa Beliau wafat pertengahan tahun 1949 M. Wallahu ‘alam.

halaman 4

Kemudian sekitar tahun 1954 M, beliau pindah lagi kedaerah sebelumnya, Sumelap, setelah berada di Sumelap beliau pun dicurigai oleh TRI (Tentara Republik Indonesia). TRI curiga bahwa beliau bersekutu dengan DI/TII ( Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) yang ditunggangi oleh PKI dan memang berpusat di Tasikmalaya sebagai pemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, beliaupun sempat tertangkap oleh TRI dan dipenjarakan selama 40 hari di sebuah gudang markas TRI di Awipari, di sini pulalah beliau mengalami siksaan berat dari oknum TRI, menurut Bpk. Sodikin, cucu tiri H. Kurdi (cucu dari Hj. Halimah) 1 . Pada saat Mama dan rekan-rekan hendak dilindas oleh oknum TRI menggunakan kereta-api seketika itu pula kereta tersebut mendadak berhenti dan pada akhirnya Mama dan rekan-rekan selamat dari kekejaman oknum TRI.

Adapun rekan-rekan Mama yang hendak dilindas antara lain:
Ø Abah Abas
Ø Ajeungan Rosyidin (murid Mama dari Kebonkalapa)
Ø Abah Ahmad (Ajeungan Karanganyar)
Ø H. Latif

Pada sekitar tahun 1956 M. beliau ikut mengajar di Pesantren Cilendek yang dipimpin oleh Kyai Bahrum/Ajeungan Enoh ( Adik kelas Mama sewaktu menuntut ilmu di Sukamanah) sambil mengungsi. Pertikaian antara DI/TII dan TRI membawa pengaruh buruk bagi Mama KH. Ahmad Faqih sebagai seorang Kyai di Pesantren Cilendek. TRI menganggap beliau bersekutu dengan DI/TII begitu juga sebaliknya. Sekitar tahun 1956 M. Mama KH. Ahmad Faqih dibawa oleh KH. Ahmad Karanganyar yang berasal dari Sumelap menuju ke daerah Pasirhonje, Ds. Ciranjang, Kec. Ciranjang, Kab. Cianjur (sekarang desa Cibiuk) ke kediaman Mang Khudlori (kakak dari KH. Ahmad), yang membawa KH. Ahmad Faqih beserta delapan orang santri. Adapun delapan orang santri tersebut diantaranya:

1.      Unang, Cilenga
2.      Rapi’I, Nyantong
3.      Majid, Nyantong
4.      Ma’sum, Awilega
5.      Ma’sum, Cibeas
6.      Husna, Sukahurip
7.      Aa Daqiq, Kebonkalapa
8.      Abdulloh, Ciatal 2

Karena di Pasirhonje masih dalam keadaan darurat, maka Mamapun pindah lagi ke Kp. Ngamprah, dari Ngamprah pindah lagi ke Sukaweuning dan dari Sukaweuning pindah lagi ke Kp. Ciendog sampai sekarang. (Selengkapnya akan diceritakan kemudian di subjudul “Hijrah ke Cianjur”)

5.     Hijrah keCianjur

Pertamakali, setelah menjalani masa tahanan, di tahun 1956 Abah hijrah ke Cianjur. Beliau ikut dengan Abah Dorrie (Mang Khudlori). Dia seorang saudagar samak dari Awipari (Kec. Cibeureum, Tasikmalaya) yang selalu iang barang ke Cianjur. Rombongan Abah, yang disertai sembilan orang
===================================================
1Abah Sodikin ini adalah Putra Mak Emi, Mak Emi putra kedua dari Hj. Halimah. Atau Abah Sodikin ini dapat juga dikatakan keponakan (suan, istilah Sunda)-nya H. Kurdi, karena beliau adalah putranya K. Suryadi. Sedangkan K. Suryadi ini adalah Adiknya H. Kurdi. Jadi, kalau dilihat dari fihak ibu (Mak Emi), Abah Sodikin ini sebagai keponakan Mama Faqih. Adapun kalau dilihat dari fihak ayah (Ki Suryadi), Abah Sodikin ini sebagai adik sepupuh Mama Faqih. Sejak kecil beliau mengikuti Mama Faqih, yaitu sejak Mama Faqih tinggal di Sumelap. Beliau, yang pada saat itu masih tinggal bersama Neneknya (Hj. Halimah) di Cilenga, disuruh oleh neneknya tersebut untuk menyusul tinggal di Sumelap, mengikuti Mama Faqih. Konon katanya, beliau berangkat pakai sepeda.

2Menurut penuturan lain dari Abah Sodikin bahwa santri yang ikut saat itu berjumlah Sembilan orang, yaitu: 1. Kunang (Pangkalan), 2. Rafi’I (Sumelap), 3. Majid (Nyantong), 4. Ma’sum (Nyantong, yang kemudian mukim di Sukawening), 5. Ace (Langkaplancar), 6. Umar (Sumelap), 7. Atif/ Entif (Sumelap, yang kemudian mukim di Ngamprah), 8. Jamaludin (Sumelap, yang kemudian mukim di Bojongsari), dan 9. Sodikin (Cilenga).

halaman 5

santri itu, sampailah di kampung Pasirhonje (Ciranjang). Di sana Abah tinggal hanya dua minggu saja, yang kemudian disarankan oleh seorang tokoh di sana untuk pindah ke kampung Ngamprah, Desa Gununghalu (sekarang termasuk Desa Sindangjaya), yang kebetulan ada rumah kosong. Di Ngamprah ini tinggal hanya satu tahun, sambil mencari tempat yang cocok untuk mendirikan PESANTREN. Kemudian pindah lagi ke kampung Leuweungkonde. Di sana menetap cukup lama yaitu dua tahun, yaitu setelah mendapatkan sebuah areal sawah, tapi keadaannya kurang bagus (bangkar), karena ke sana belum diberi aliran air
oleh pihak yang berwenang (Camat Ciranjang). Areal tersebut terletak di pinggiran KAMPUNG CIENDOG, yang kemudian disebut Block Ciendog.

Setelah memiliki lahan sawah tersebut, Abah membeli sebuah satu unit rumah panggung di Kp. Kanayakan. Rumah tersebut dipindahkan dan ditempatkan di Ciendog. Pemindahan tersebut terjadi pada tahun 1958 M, sekaligus menjadi tahun pertama bagi Abah dan kesembilan santrinya tinggal di Ciendog. 9 orang santri tersebut adalah:

1.       Kang Kunang, asal Pangkalan, Singaparna
2.      Kang Rofi’i, asal Sumelap, Cibeureum
3.       Kang Majid, asal Nyantong, Cibeurem
4.       Kang maksum, asal Nyantong Cibeureum, dan lalu menetap di Sukawening, Gununghalu
5.       Kang Ace, asal Langkaplancar, Ciamis
6.       Kang Umar, asal Sumelap
7.       Kang Apip (Entip), asal Sumelap, dan lalu menetap di Ngamprah
8.       Kang Jamaludin, asal Sumelap, dan lalu menetap di Bojongsari, Ciranjang (sekarang termasuk Kec. Sukaluyu)
9.       Kang Sodikin, asal Parakanlisung, Singaparna, dan lalu menetap di Cilenga

Tak lama setelah menempati rumah baru di Ciendog, baru kemudian keluarga (anak dan istri) Abah menyusul ke Cianjur. Masa-masa ini adalah masa di mana dimulainya pembangunan BANGUNAN PONDOK PESANTREN, yaitu tahun itu juga, tahun 1958 M. pondok berhasil dibangun dengan type sederhana. Type duduk jandela, itulah istilahnya. Sebuah bangunan pondok pesantren berukuran kurang lebih 25 x 6 meter, memanjang dari timur ke barat, meliputi 12 pasang kobong yang menghimpit ruas jarambah di tengah. Total jadi 24 kobong. Itupun untuk lantai pertama. Lantai 2 dibuat ruangan besar sebagai ruangan serbaguna para santri. Sholat berjamaah, ngaji balaghan, soroghan, dan kegiatan ngaji lainnya dilakukan di ruangan besar lantai 2 ini. Kegiatan ngaji dipimpin oleh Abah sendiri. Diceritakan bahwa Abah mengajar ngaji santri mulai pukul 03.30 pagi dan kemudian pukul 11.00 siang baru keluar turun dari lantai dua tersebut. Sebagian besar waktunya hanyalah untuk mengajar dan mengajar, mengajar santri sambil mencari metode pengajaran terbaik supaya santrinya menjadi kyai dengan masa belajar yang tidak lama. Seluruh pengalaman ngajinya selama di Tasik dulu beliau gunakan sebagai dasar untuk menghasilkan metode tercepat. Pengalamannya di Sukamanah, waktu nyantren di KH. Zainal Mustofa menjadi corak utama metode cepat yang dihasilkan. Abah berkata, “Ieu pamurukan teh menang neplak ti KH. Zainal Mustofa.” Begitu seperti yang dituturkan oleh Aj. Agus Ramdani, santri Abah yang mukim di Cilenga.

Adapun pembangunan Masjid baru bisa mulai pada akhir tahun 1967 M, yaitu di tahunan Abah Sodikin berhenti dan pulang ke Tasikmalaya. Sebelumnya, di saat Abah Sodikin pulang, Mesjid belum mulai dibangun 1. Di akhir tahun 1968 2, mesjid pertama berhasil dibangun. Areal pesantren Pasirnangka yang kini berdiri di atas tanah berukuran ............
===========================================
1Pada saat itu hanya dibangun sebuah tajug kecil tipe ‘duduk jandela’ ukuran sekitar 3 x 4 meter di sebidang tanah yang menjadi cikal-bakal pendirian mesjid sekarang ini. Kemudian direhab menjadi ukuran 5 x 6 m . Begitulah menurut kesaksian K. Ae Jaelani (salah-satu santri angkatan ke-3).

Perlu dicatat bahwa para santri angkatan ke-3 ini pernah disinggung pada acara syahriyahan Jumadil Akhir 1438 H. oleh salah seorang pesertanya, yaitu KH. Syahrudin, Tasikmalaya. Beliau menyebutkan beberapa orang santri ‘kurun’ ke-1, ke-2, dan ke-3.

Kurun ke-1, seperti: K. rofi’i,
Kurun ke-2, seperti: K. Uloh, K. Ikho, K. Enni, K. Husna, K. Emud, K. Komar, dan K.   Mukhtar Ciakar.

halaman 6

..... 3600 bata, merupakan lahan pembelian hasil menjual lahan Abah yang di Cilenga seluas 300 bata. Lahan yang 300 bata tersebut dijual dengan harga Rp. 300,- / bata. Dengan uang Rp. 90.000,- tersebut Abah dapat membeli lahan di
Ciendog seluas 3600 bata, karena harganya lebih murah daripada di Tasikmalaya, yaitu harga Rp. 25,- /bata. Dari 300  bata terjual menjadi 3600 bata terbeli. Alhamdulillah.

Santri-santri Abah generasi ke-2, diantaranya :
1. Kang Jami'an (Cijulang)
2. Kang Sholeh (Karawang)
3. Kang Ja'far (Purwakarta)
4. Kang Ikho (Ciranji)
5. Kang Enem (Leles)
6. Kang Kiki (Sumelap)
7. Kang Abas (Sumelap)

6.  Silsilah Keguruan Mama

KH. Zaenal Mustofa Sukamanah, beliau menuntut ilmu di daerah Cantayan, Gunung Puyuh Sukabumi ( di Pesantren Alm. KH.Ahmad Sanusi)3, selama kurang lebih tiga tahun.
Kemudian beliau ( KH. Zaenal Mustofa) disuruh meneruskan menuntut ilmu kepada KH. Moch. Syabandi dengan tujuan menamatkan kitab Jam’ul Jawami’ sekitar kurang lebih tujuh tahun hingga bermuqim di Sukamanah.

Mama KH. Moch. Syabandi muqim dan menuntut ilmu di Mekah Almukarroamah selama empat belas tahun (antara tahun 1903-1917 M). Dan juga pernah berbarengan dengan KH. Hasyim Asy’ary Tebuireng Jombang ( pendiri Nahdlotul Ulama). Adapun guru-guru KH. Moch. Syabandi pada waktu menuntut ilmu di Mekah, yaitu para Ulama
dari jajaran Madzhab Syafi’I diantaranya:
ØKH. Mahfud Bin Abdulloh Termas
ØKH. Abdul Wahhab Minangkabau
 Mereka adalah Ulama Indonesia yang bermuqim di Mekah sekaligus menjadi guru dari jajaran Madzhab Syafi’i.

Kurun ke-3, seperti: Simkuring (KH. Syahrudin, ke Almusri’ pada tahun 1961), K. Ae Jaelani, dan K. Dasuki.

Beliau juga sangat terkagum-kagum terhadap K. Uloh saat itu yang membaca kitab ‘Fathul Wahab’ yang sangat lancar seperti membaca koran. (ditambahkan pada hari Ahad, 05-03-2017 M.)

2 Berbeda dengan edisi-edisi sebelumnya, mengenai angka-angka tahun ini sekarang disesuaikan dengan keterangan dari KH. Mamal M Murtadlo (sesepuh sekarang). “Mesjid pertama dibangun, yaitu setelah terjadinya peristiwa GESTAPU tahun 1965 M.” Kata Beliau.
3 Jalur KH. Zaenal Mustafa, Beliau dari KH. Ahmad Sanusi,  KH. Ahmad Sanusi dari KH. Obay Syaubari (Ki Wedus), Ciwedus, Cilimus, Kuningan, KH. Obay Syaubari dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Adapun dari jalur Sang Ayah, H. Kurdi dari Mama H. Ahmad Suja’I, Gudang, Mama H. Ahmad Suja’I dari KH. Obay Syaubari, Ciwedus.


الكواكب اللماعة في التحقيق 

Oleh Apakayank

===================================================================
Infaq Fisabilillah hanya Rp 1.100.000,- (berhadiah umroh atau haji senilai Rp 25.000.000,-)
atau download di Play Store

UNDROID

Tidak ada komentar:

Posting Komentar